24 April 2009

Fenomena Budaya HIK (Hidangan istimewa Kampung) Di Surakarta


Kalau kota Yogyakarta memiliki Angkringan, kota Surakarta pun terkenal dengan Hidangan Istimewa Kampung (selanjutnya yang disebut dengan Hik). Hik dapat dijumpai hampir ditiap sudut kota Surakarta karena merupakan salah satu tempat menikmati makan malam murah serta menjadi tempat bersosialisasi masyarakat kota Surakarta.

Di atas meja gerobak Hik, nasi yang sudah dibungkus kecil-kecil dan berbagai lauk-pauk sudah terhidang dan memberi keleluasaan kepada pengunjung untuk memilih dan menikmati sesukanya. Lauk pauk yang sudah tersedia di meja biasanya adalah sate keong, sate kikil, sate telur puyuh, tahu tempe goreng/bacem, rolade, iwak puyuh, koyor dan sebagainya. Dapat pula dibakar bila kita menginginkan lauk pauknya agar lebih hangat.

Di tempat Hik seperti itu semua orang bergaul akrab. Tidak jarang pertemuan antarteman berlangsung di warung Hik, sambil minum teh hangat, kopi atau wedang jahe yang menghangatkan. Setelah selesai makan, tinggal laporkan saja apa yang telah dinikmati kepada penjual. Dengan sigap dan percaya penjual akan menghitung semuanya.

Warung-warung Hik dewasa ini telah menjamur di sudut-sudut kota Surakarta dan memang tidak sedikit masyarakat yang enggan untuk menikmati makanan yang ditawarkannya. Hal ini menambah keunikan kuliner kota Surakarta karena di kota lain tidak terdapat warung Hik seperti yang terdapat di kota Surakarta (kecuali Jogja, yang disebut dengan Angkringan).

Fenomena Hik di kota Surakarta ini sangat menarik untuk diteliti karena HIK dengan akrabnya terjadi dan erat dalam kehidupan masyarakat kota Surakarta.

1. Fenomena HIK
Hik adalah "kafe" original Surakarta, kembar dengan angkringan di Jogja. Konon keduanya sama-sama berasal dari daerah Ceper, Klaten, yang satu menuju Jogja, dan berganti nama dengan angkring. Satunya lagi ke Surakarta dan diberi nama hik. Dua-duanya adalah fenomena budaya kuliner unik, karena seolah seragam dalam hal menu dan memberi harga. Jadi, jika di Surakarta atau Jogja, makan di hik manapun akan menjumpai harga es teh, gorengan, krupuk rambak, dan nasi bungkus (sego bandeng) yang relatif sama (kalau pun berbeda hanya selisih beberapa ratus perak).

Di Surakarta terdapat beberapa Hik seperti, Hik pak Kumis di Manahan, pak Gerok di Jajar, Hik Kodim di depan Sriwedari, Hik STSI (bagi mahasiswa UNS dan STSI), Hik di jembatan Pasar Gede bisa dikategorikan hik yang terkenal dan warung-warung Hik lainnya. Hik yang ramai biasanya diidentifikasi dengan jumlah pengunjung yang sudah jelas tidak akan mampu tertampung oleh kemampuan gerobak dorong. Biasanya, pedagang hik menyediakan tikar untuk digelar sehingga pengunjung dapat menggunakannya bagi yang membutuhkan tempat lesehan. Hik biasanya terletak di tempat-tempat yang strategis, jadi sering sekali dijumpai gelaran tikar hik ini bisa mencapai lebih dari 10meter dari samping kanan dan kiri gerobak Hik.

Hik biasanya buka sampai tengah malam (sekitar jam 1 pagi bahkan ada yang lebih). Hik dapat dikatakan sebagai magnet yang bisa menggali ide dan pikiran untuk tertuang dalam diskusi-diskusi informal ataupun hanya sekadar tempat berswa bersama teman-teman. Tidak hanya kaum adam saja yang menikmati makanan di Hik, namun kaum wanita juga banyak yang mengunjungi Hik (terutama kalangan mahasiswa).

2. HIK menjadi Sistem Budaya Masyarakat Surakarta
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dibagi ke dalam tiga wujud, yakni: 1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide, norma-norma, gagasan-gagasan, nilai-nilai, peraturan-peraturan dan sebagainya, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat, 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1985:5).

Fenomena Hik tersebut diatas termasuk pada wujud kebudayaan yang kedua (berdasarkan pembagian wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat). Sebagian masyarakat kota Surakarta memiliki aktivitas kelakuan berpola yakni makan malam di Hik, hal ini terbukti dari menjamurnya pedagang Hik di kota Surakarta dan jumlah pengunjung yang banyak menikmati makanan di Hik.

Hik merupakan tempat yang cukup nyaman berswa antarteman, hal ini mencerminkan terjadinya komunikai yang akrab/dekat dalam masyarakat kota Surakarta. Namun sisi negatifnya dapat pula berarti bahwa masyarakat kota Surakarta senang sekali nongkrong atau berkumpul dan ngobrol tidak jelas arahnya.

Fenomena Hik berlangsung terus menerus dengan keteraturan yang ada sehingga fenomena Hik dapat disebut sebagai suatu sistem budaya tang terjadi di kota Surakarta. Fenomena Hik merupakan perwujudan dari kerja keras dan kearifan suatu masyarakat dalam mengarungi dunianya, dengan demikian fenomena Hik dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang memiliki kerangka persepsi yang penuh makna dalam struktur dan perilaku.


Hik merupakan fenomena budaya yang menarik di kota Surakarta. Terdapat banyak warung Hik yang tersebar ke penjuru kota Surakarta. Fenomena Hik ini dapat mencerminkan masyarakat kota Surakarta yang suka berswa, nongkrong, santai, akrab, dan dapat dipercaya. Meskipun warung Hik ini buka di malam hari, tidak hanya kaum adam saja yang boleh menikmati makanan di Hik. Semua lapisan masyarakat dari yang terendah sampai yang bermobil pun juga datang untuk menikmati makanan di Hik.
Fenemena yang ada keteraturan-keteraturan dapat dinamakan sebagai suatu sistem budaya. Keteraturan ditujukkan dalam fenomena Hik, sehingga fenomena Hik dapat dikatakan sebagai suatu sistem budaya yang tumbuh (dinamis) di kota Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Mukhlis. P, dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.