11 April 2010

FENOMENA TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA

FENOMENA TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA

AKIBAT TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT

Bayu Indrayanto, S.S.

Nehemia Purnanto, S.S.

Program Studi Linguistik Deskriptif

Program S2 Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

2009

1. Ketidaktepatan penggunaan tingkat tutur/unggah-ungguh dalam bahasa Jawa dapat dikarenakan penguasaan yang kurang terhadap leksikon-leksikon bahasa Jawa, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep ragam ngoko dan ragam krama.

Contoh:

Nyuwun pamit Pak, kula badhe kondur.

‘Permisi pulang Bu, saya mau pulang.’

Konteks: seorang anak yang berpamitan kepada tuan rumah.

Frase badhe kondur tidak tepat, lebih tepat jika menggunakan badhe mantuk. Frase badhe kondur merupakan leksikon krama yang tidak tepat digunakan jika untuk menyatakan hal tentang dirinya sendiri. Penutur mungkin maksudnya baik, jika berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan ragam krama, namun penutur salah bahwa dalam unggah-ungguh bahasa Jawa juga mengenal merendahkan status dirinya dan leksikon-leksikon yang menunjuk dirinya tidak boleh dikramakan.

Yen angsal, mangpundhutke gangsal iji mawon kangge kula

’Jika boleh, Anda mintakan lima biji saja untuk saya.’

Data tersebut merupakan leksikon krama andhap yang digunakan oleh O1 yaitu oleh kula ’saya’. Namun, pada kata mangpundhutke menjadikan kalimat tidak berterima, ketidakberterimaannya itu dikarenakan O1 (kula) menggunakan bentuk krama inggil pundhut ’minta, beli, ambil’ untuk diri sendiri. Sehingga kata mangsuwunke diganti mangsuwunke pada data tersebut menjadi berterima.

a. Panjenengan kersa kula tukokaken gethuk goreng ?

’Anda mau saya belikan (kue) getuk goreng ?’

b. Mbak Darmi badhe menehaken buku waosan punika (menika) dhateng Pak Diman.

’Kak Darmi akan memberikan buku bacaan ini kepada Pak Diman.’

Begitu pula halnya dengan sufiks -aken (-kaken) yang terdapat pada contoh (a & b) di atas, sufiks itu tidak dapat bergabung dengankata tuku ‘beli’ seperti pada *tukokaken ‘belikan’ (a) dan tidak dapat bergabung dengan kata weneh ‘beri’ seperti pada *menehaken ‘memberikan’ (b) sehingga kalimat (a-b) pun tergolong kalimat yang tidak berterima. Ketidakberterimaan kedua kalimat tersebut disebabkan pada kata tuku dan weneh merupakan leksikon ngoko yang mempunyai padanan bentuk krama dan krama inggil. Karena mempunyai padanan bentuk krama dan krama inggil, leksikon krama dan krama inggil itulah yang seharusnya dilekati afiks -ipun (-nipun). Jika kaidah ini dilanggar, kalimat akan menjadi tidak berterima. Padanan leksikon ngoko tuku adalah tumbas, dan padanan leksikon ngoko weneh adalah atur/caos. Sehubungan dengan itu, agar kalimat a menjadi berterima, kata tuku harus diganti dengan kata tumbas dan kata wenehaken diganti dengan aturaken/caosaken pada kalimat b, sehingga ubahannya menjadi.

Panjenengan kersa kula tumbasaken gethuk goreng ?

Mbak Darmi badhe nyaosaken/ngaturaken buku waosan punika (menika) dhateng Pak Diman.

Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat fenomena dimana penutur akan merendahkan diri lewat bentuk ragam bahasanya. Penutur akan menggunakan pilihan kata/leksikon ngoko untuk menyatakan dirinya dan memilih leksikon krama untuk mitra tuturnya.

2. Anak-anak ketika berbicara dengan orang tua

A : Bu lawuhe apa?

B : kuwi le, neng njero lemari.

Terjemahan :

A :‘Bu, lauknya apa?’)

B : ‘Itu nak, di dalam almari.’

Konteks: seorang anak ketika pulang sekolah, lapar dan segera menuju dapur.

Kurangnya pengetahuan tentang unggah-ungguh bahasa Jawa dapat menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Bisa saja anak itu berasal dari latar belakang sosial keluarganya; ayahnya berasal dari luar Jawa dan Ibu dari Jawa. Sangat dimungkinkan bahasa Jawa bukan menjadi prioritas utama dalam bertutur, apalagi dalam hal membedakan krama dan ngoko. Atau mungkin memang orang tuanya tidak mengajarkan unggah-ungguh bahasa Jawa, anak mendapat pembelajaran bahasa Jawa dari lingkungannya.

3. Ketika orang tua berbicara kepada anaknya (masih kecil)

A : Mangke adik menawi sampun rampung matur nggeh.

B : Nggih Bu!

Terjemahan :

A :‘Nanti adik kalau sudah selesai, bilang ya.’

B : ‘Ya Bu!’

Konteks: orang tua sedang memberi pesan kepada anaknya yang sedang belajar.

Pada tuturan orang tua tersebut bukan dalam rangka menghormati anaknya, tetapi dalam rangka mengajarkan kepada anak tentang unggah-ungguh bahasa Jawa.

4. Keakraban yang melunturkan status sosial dan unggah-ungguh bahasa Jawa.

A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?

B : Durung Yu, kenthongen!

Terjemahan :

A : ‘Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?’

B :‘Belum Yu, pukullah!’

Konteks: Pembicaraan di pos ronda. A berumur 30 tahun, seorang dosen dan B berumur 25 tahun, seorang karyawan pabrik. Mereka teman bermain sejak kecil.

Bila A dan B bukan teman bermain sejak kecil atau tingkat keakrabannya kurang bahkan tidak akrab, B sangat dimungkinkan akan menggunakan ragam krama saat bertutur kepada A.

A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?

B : Dereng Pak, dikenthong mawon!

Terjemahan :

A : ‘Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?’

B : ‘Belum Pak, pukullah!’

5. Tidak akrab dan kebutuhan akan sesuatu, penutur memunculkan bentuk bahasa krama kepada mitra tutur.

A : Ndherek tanglet Mas!

B : Njih Mas.

A : Dalemipun Bu Marini menika pundi nggih?

B : O.. pertigaan niku ngetan, griya nomor kalih madhep ngaler.

Terjemahan :

A : ‘Mau tanya Mas!’

B : ‘Ya Mas.’

A : ‘Rumahnya Bu Marini itu dimana ya?’

B : ‘O.. pertigaan itu ke timur, rumah nomor dua menghadap ke utara.’

Konteks: A bertanya ke B mengenai alamat Bu Marini, dan B menunjukkan denah yang ada.

Ketidakakraban penutur dengan mitra tutur dapat memunculkan ragam krama, padahal bisa jadi salah satu dari mereka memiliki usia yang lebih muda, status sosial yang lebih rendah, atau yang lainnya.

6. Status sosial mitra tutur lebih rendah, maka mitra tutur harus menggunakan ragam krama kepada atasannya (penutur) meskipun jauh lebih muda dari penutur.

A : Pak, sukete ngarep omah wis mbok resiki?

B : Injih, sampun.

Terjemahan :

A : ‘Pak, rumput depan rumah itu sudah kau bersihkan?’

B :‘Iya, sudah.’

Konteks: A adalah seorang juragan, B adalah tukang kebun.

Meskipun B berumur lebih tua, selayaknya dia menggunakan ragam krama kepada A karena status sosialnya. Status sosial dalam hal ini sangat berperan penting dalam menentukan unggah-ungguh yang harus digunakan oleh penutur.

7. Acara “Kabar Wengi” setiap jam 20.30 di TATV yang menyajikan berita-berita kriminal Surakarta, DIY dan Magelang dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko.

Meskipun dalam pemberitaannya menggunakan ragam ngoko, namun ketika pembaca berita menyampaikan berita tentang walikota misalnya, tidak akan menggunakan ragam ngoko ketika kalimat itu menunjuk kepada walikota.

Pembawa berita : Dina iki Pak Walikota dhahar siang neng Griyokulo Karangpandan. (‘Hari ini Bapak Walikota makan siang di Griyokulo Karangpandan.’)

Pada intinya, acara “kabar wengi” yang konsepnya dibuat dengan menggunkan ragam ngoko pun, akan tetap menggunakan ragam krama (adanya leksikon krama) ketika menyebut seseorang yang dihormati.

Masyarakat jawa menggunakan bahasa Jawa harus mengenal unggah-ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam penggunaan leksikon. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebab itu dapat terjadi karena adanya beberapa faktor, misalnya : kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa, kurangnya penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh penutur. Biasanya hal ini dialami oleh pendatang yang telah lama menetap di luar Jawa atau oleh kaum muda (khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan menguasai tentang unggah-ungguh. Kebiasaan menggunakan bahasa selain bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari atau bahasa Jawa berupa ngoko, dikarenakan : (1) alasan keakraban antara O1 dan O2 ; (2) kemungkinan adanya perbedaan wilayah asal antara penutur dan mitra tutur ; (3) penggunaan bahasa ngoko lebih banyak digunakan sebab lebih mudah dipahami dalam menyampaikan informasi.