24 Mei 2010

INTERFERENSI DAN INTEGRASI

INTERFERENSI DAN INTEGRASI

Endang Retnaningdyah Elis N. M

Soleman Richard Simon

Nehemia Purnanto

Sri Widyarti Ali

Yang Yang

Kontak bahasa terjadi apabila seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih menggunakan bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan dan peristiwa pemakaian dua bahasa secara bergantian disebut kedwibahasaan. Kontak bahasa terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi belajar bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan atau bilingualisasi, dan orang yang belajar bahasa kedua disebut dwibahasawan. Mackey (dalam Suwito, 1985) memberi pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan seorang ekabahasawan. Kontak bahasa cenderung sebagai gejala bahasa (langue) dan kedwibahasaan sebagai gejala tutur (parole), tetapi kedwibahasaan terjadi sebagai akibat kontak bahasa. Istilah kontak bahasa disebut juga sentuh bahasa.

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan multingualisme. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual atau monoglot yang menguasai dua disebut bilingual, sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingial atau poligot.

Boloomfiled mengartikan bilingual ini sebagai penguasaan yang sama baiknya oleh seseorang teradap dua bahasa. Uriel Weinrich (1968) mengartikan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seseorang secara bergantian. Einar Haugen (1966) mengartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya.

Masyarakat yang bilingual atau multilingual akibat adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching) dan campurkode (code-mixing). Keempat peristiwa gejalanya sama, yaitu adanya unsur bahasa lain dalam bahasa yang digunakan. Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir dan dongkrak adalah contoh yang sudah berintegrasi.

Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali terjadi yang disebut alihkode, yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Alih kode dibedakan dari campur kode. Kalau alih kode terjadi karena bersebab, sedangkan campur kode terjadi tanpa sebab.

1. Interferensi

Istilah interferansi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Sedangkan penutur bilingual yaitu penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian dan penutur multilingual yaitu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa.

Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Dan kemampuan penutur bilingual maupun penutur multilingual dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga terpengaruh bahasa lain merupakan penyebab terjadinya interferensi. Kemampuan setiap penutur terhadap bahasa yang pertama digunakan dengan bahasa kedua itu bervariasi. Ervin dan Osgood (1965:139) menyatakan bahwa penutur berkemampuan berbahasa sejajar jika penutur bilingual mempunyai kemampuan terhadap bahasa 1 dengan bahasa 2 sama baiknya, artinya penutur bilingual tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa tersebut terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan penutur berkemampuan bahasa majemuk yaitu penutur yang kemampuan berbahasa 2 lebih rendah atau berbeda dengan kemampuan berbahasa 1, artinya penutur mempunyai kesulitan dalam menggunakan bahasa 2 karena dipengaruhi bahasa 1. Hartman dan Stork (1972:15) tidak menyebut interferensi sebagai “pengacauan“ atau “kekacauan“, melainkan “kekeliruan“, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua.
Ahli linguistik edukasional William Mackey berpendapat bahwa interferensi itu adalah gejala penggunaan unsur- unsur satu bahasa dalam bahasa lainnya ketika seorang penutur mempergunakan bahasa-bahasa itu. Faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi itu antara lain adalah adanya perbedaan di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan yang tidak saja dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakatanya. Gejala itu sendiri terjadi sebagai akibat pengenalan atau pengidentifikasian penutur terhadap unsur-unsur tertentu dari bahasa sumber, kemudian memakainya dalam bahasa sasaran.

Di samping itu, setiap bahasa manapun tidak pernah berada pada satu keadaan tertentu. Ia selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman. Setiap bahasa mempunyai caranya sendiri-sendiri dalam mengembangkan unsur-unsurnya itu. Proses perkembangan ini tergantung selain kepada unsur internal bahasa itu sendiri, yakni kesiapan bahasa menerima perubahan yang terjadi pada bahasa itu sendiri juga pada faktor eksternal bahasa, seperti tuntutan keadaan soaial budaya, tuntutan perkembangan IPTEK, tuntutan politik bahasa dan lain-lain.

Interferensi dianggap gejala yang sering terjadi dalam penggunaan bahasa. Di zaman modern ini, persentuhan bahasa sudah sedemikian rumit, baik sebagai akibat dari mobilisasi yang semakin tinggi maupun sebagai kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat, maka interferensi dapat dikatakan sebagai gejala yang dapat mengarah kepada perubahan bahasa terbesar, terpenting dan paling dominan saat ini.

Jenis Interferensi:

  1. Interferensi Fonologis

Interferensi terjadi bila bila penutur itu mengidentifikasi fonem sistem bahasa pertama (bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat mempengaruhi seorang penutur) dan kemudian memakainya dalam sistem bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam mengucapkan kembali bunyi itu, dia menyesuaikan pengucapannya dengan aturan fonetik bahasa pertama.

(B.Ind) (B.Jw) interferensi bunyi nasal

Bandung, Delanggu, mBandung, nDelanggu

Jambi, Depok, Gombong nyJambi, nDepok, ngGombong

(B.Ind) (B.Batak) interferensi bunyi E

semena-mena semEna-mEna

(B.Ind) (B.Bali) interferensi bunyi T

mati, kita maTi, kiTa

(B.Inggris) (B.Jepang) interferensi bunyi r dan i

gasoline gasorini

(B.Ind) (B.Jepang) interferensi bunyi r (tidak pny l)

luar biasa ruar biasa

  1. Interferensi Morfologis

Terjadi apabila seorang penutur mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama dam kemudian menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk kata atau morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua.

Misalnya afiks ke- dan ke-an (B.Jawa, Sunda) dalam kata ketabrak seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil, kepukul seharusnya terpukul, dan sebagainya. Afiks –(n)isasi dan –is (B.Belanda,Inggris) dalam kata turinisasi seharusnnya penturian, Pancasilais seharusnya pengikut paham Pancasila.

  1. Interferensi Sintaksis

Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Bisa juga terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas. Interferensi kata dasar terjadi apabila misalnya seorang penutur bahasa Indonesia juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga dalam percakapannya sering terselip kata-kata bahasa Inggris, sehingga sering terjebak dalam interferensi.

Contohnya:

· Planningku setelah lulus sarjana adalah melanjutkan sekolah ke luar negeri.

· Mereka akan married bulan depan.

· Di sini toko Laris yang mahal sendiri.

Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah Ning kene took Laris sing larang dhewe, kata sendiri dalam kalimat bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata Jawa dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain memang berarti sendiri, seperti terdapat dalam kalimat aku dhewe sing teko (‘Saya sendiri yang datang’), dan Kowe krungu dhewe? (‘Apakah kamu mendengarnya sendiri?’). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti Sing dhuwur dhewe artinya ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe artinya ‘yang paling mahal’. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut seharusnya berbunyi ‘Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini’.

Tipe lain interferensi ini adalah interferensi struktur. Yaitu pemakaian struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua. Misalnya kalimat dalam bahasa Inggris, I and my friend tell that story to my father sebagai hasil terjemahan dari ‘saya dan teman saya menceritakan cerita itu kepada ayah saya’. Dalam kalimat bahasa Inggris tersebut tampak penggunaan struktur bahasa dalam bahasa Indonesia. Pada hal terjemahan yang baik tersebut sebenarnya adalah My friend and i tell that story to my father. Contoh dalam bahasa Jerman, ich und mein Freund gehen ins Kino sebagai terjemahan dari ‘saya dan teman saya pergi ke bioskop’. Padahal susunan kalimat yang benar adalah, mein Freund und ich gehen ins Kino.

  1. Interferensi Tatamakna/Semantik

Interferensi dalam tata makna dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1) Interferensi perluasan makna atau expansive interference, yakni peristiwa penyerapan unsur- unsur kosakata ke dalam bahasa lainnya. Misalnya konsep kata democration menjadi Demokration dan demokrasi.

2) Interferensi penambahan makna atau additive interference, yakni penambahan kosakata baru dengan makna yang agak khusus meskipun kosakata lama masih tetap dipergunakan dan masih mempunyai makna lengkap. Misalnya kata Father dalam bahasa Inggris atau Vater dalam bahasa Jerman menjadi Vati.
Pada usaha-usaha ‘menghaluskan’ makna juga terjadi interferensi, misalnya: penghalusan kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi narapidana.

3) Interferensi penggantian makna atau replasive interference, yakni interferensi yang terjadi karena penggantian kosakata yang disebabkan adanya perubahan makna seperti kata saya yang berasal dari bahasa melayu sahaya.

  1. Interferensi Intonasi

Penyimpangan dalam intonasi suatu bahasa dengan mengganti/terpengaruh intonasi bahasa lain.

Misalnya pada kata sapaan:

punten (diucapkan dengan intonasi B.Jawa)

kulonuwun (diucapkan dengan intonasi B.Sunda)

Dengan contoh-contoh di atas maka dapat dibedakan antara campur kode dengan inteferensi. Campur kode mengacu pada penggunaan serpihan bahasa lain dalam suatu bahasa, sedangkan interferensi mengacu pada penyimpangan dalam penggunaan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Tetapi serpihan-serpihan berupa klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain masih bisa dianggap sebagai peristiwa campur kode dan juga interferensi. Dari segi “kemurnian bahasa“, interferensi dapat “merusak“ bahasa. Dari segi pengembangan bahasa, interferensi merupakan suatu mekanisme yang sangat penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu bahasa untuk mencapai taraf kesempurnaan bahasa sehingga dapat digunakan dalam segala bidang kegiatan. Bahkan Hocket (1958) mengatakan bahwa interferensi merupakan suatu gejala terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa.

Kontribusi utama interferensi yaitu bidang kosakata. Bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya, pemakaian yang luas dan mempunyai kosakata yang sangat banyak, akan banyak memberi kontribusi kosakata kepada bahsa-bahasa yang berkembang dan mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam proses ini bahasa yang memberi atau mempengaruhi disebut bahasa sumber atau bahasa donor, dan bahasa yang menerima disebut bahasa penyerap atau bahas resepien, sedangkan unsur yang diberikan disebut unsur serapan atau inportasi.

Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa indonesia dan bahasa indonesia banyak memasuki bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi. Unsur-unsur dalam interferensi
Sekurang- kurangnya ada tiga unsur penting yang mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi yaitu:

  • Bahasa sumber (source language) atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam untuk kepentingan komunikasi antar warga masyarakat.
  • Bahasa sasaran atau bahasa penyerap (recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur asing itu dan kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam bahsa penerima tersebut.
  • Unsur serapannya atau importasi (importation). Hal yang dimaksud di sini adalah beralihnya unsur- unsur dari bahasa asing menjadi bahasa penerima.

2. Integrasi

Interferensi dan integrasi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian satu bahasa di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang penutur bilingual. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya adalah interferensi dianggap sebagai penyimpangan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa, sementara integrasi tidak dianggap sebagai gejala penyimpangan dikarenakan unsur-unsur bahasa sumber itu telah disesuaikan dengan bahasa sasarannya dan dianggap sebagai perbendaharaan kata baru. Integrasi dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan jika tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran. Mackey (1968) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Mulanya seorang penutur menggunakan unsur bahasa lain sebagai unsur pinjaman karena merasa diperlukan, kemudian unsur asing yang digunakan itu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, sehingga unsur tersebut berstatus telah berintegrasi.

Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, dalam bahasa Indonesia, awalnya dilakukan secara audial. Artinya, mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal dari penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya (didengar-diujarkan-dituliskan). Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara audial menampakkan ciri ketidakteraturan jika dibandingkan dengan kosakata aslinya.

Penyerapan unsur asing bukan hanya melalui penyerapan kata asing disertai penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi dilakukan dengan cara: (1) penerjemahan langsung, artinya kosakata itu dicarikan padanannya dan (2) penerjemahan konsep, artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata yang konsepnya dekat dengan kosakata asing tersebut. Jika sebuah kata serapan ada pada tingkat integrasi, maka kata serapan itu sudah disetujui dan proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim disebut konvergensi. Setiap bahasa akan mengalami interferensi kemudian disusul dengan peristiwa integrasi. Selain itu, tidak sedikit kosakata yang berasal dari satu bahasa lalu tersebar luas dan bersifat universal sehingga orang tidak merasa perlu menyerap sampai pada tingkat integrasi.

Integrasi dapat terjadi pada semua bidang linguistik suatu bahasa. Pada bidang kosakata dalam bahasa Indonesia misalnya muncul kata-kata seperti aljabar, bendera, fisika, jendela, kabar, kimia, matematika, mobil, pulpen, televisi, telepon, dan lain-lain yang merupakan integrasi dari bahasa asing, atau kata-kata seperti batik, cewek, cowok, jorok, nyeri, pantas, cacingan, dan lain sebagainya sebagai akibat peristiwa integrasi dari bahasa daerah/dialek.

Pada bidang morfologi terjadi pula peristiwa integrasi. Hal ini bisa diketahui dengan sering dipakainya kata-kata praduga, wara-wiri, nongkrong, ngobrol dan lain-lain yang berasal dari bahasa daerah. Juga kata-kata diskualifikasi, klasifikasi, dispensasi, diskon, snack, taxi, polisi, interferensi, integrasi, books dan lain sebagainya adalah merupakan integrasi dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam bidang sintaksis contohnya ‘Ayahnya si Ali sakit’ seharusnya ‘Ayah si Ali sakit’ dan ‘buku itu sudah dibeli oleh saya’ seharusnya ‘buku itu sudah saya beli’. Kemungkinan akibat interferensi dan integrasi terhadap bahasa resipien:

1. Bahasa resipien tidak mengalami pengaruh yang bersifat mengubah sistem apabila tidak ada kemungkinan untuk mengadakan pembaruan atau pengembangan dalam bahasa resipien tersebut. Tetapi menurut Jakobson (1972:491) bahasa resipien akan mengalami penambahan kosakata.

2. Bahasa resipien mengalami perubahan sistem pada subsistem fonologi, morfologi, sintaksis maupun subsistem lainnya. Bagi Weinreich (1968:1-2) interferensi mengandung pengertian penyusunan kembali pola-pola dasar donor menurut sistem bahasa resipien, sehingga interferensi memberi pengaruh bagi sistem bahasa resipien.

3. Kedua bahasa yang bersentuhan itu sama-sama menjadi donor dalam pembentukan alat komunikasi verbal baru yang disebut pijin.